Biotechnology

PictureBIOTEKNOLOGI TANAMAN DALAM PERSPEKTIF PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA
PENDAHULUAN
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengemukakan pandangan dan pengalaman ilmiah penulis, yang kiranya dapat bermanfaat untuk menjadi bahan pemikiran dan acuan dalam pembangunan bangsa dan negara, terutama dalam pembangunan pertanian dan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di wilayah Maluku.  Sesuai dengan spesialisasi penulis, tulisan ini memberi fokus kepada bioteknologi tanaman dalam persepektif pertanian tanaman pangan dan hortiklultura.
Mengingat bioteknologi belum merupakan hal biasa yang dikenal oleh masyarakat secara luas maka tulisan ini akan dimulai dengan ulasan tentang pengertian, manfaat serta peran bioteknologi pada pertanian. Selanjutnya diuraikan hal-hal yang bersifat teknis dalam bioteknologi tanaman, dari pengalaman penulis selama belajar dan meneliti di bidang kultur jaringan dan rekayasa genetika pada berbagai tanaman pertanian, di Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, selama studi di Simon Fraser University di Kanada, dan selama kerja penelitian di University of Florida (AS).  Beberapa pandangan tentang aplikasi bioteknologi dalam peningkatan produksi tanaman pangan dan hortikultura juga dikemukakan dalam tulisan ini.
Kemajuan bioteknologi sangat pesat sehingga kita sebenarnya dapat melihatnya sebagai gelombang baru perkembangan teknologi di dunia, setelah teknologi informasi dan komputer yang dampaknya sangat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari.  Dalam tulisan di berbagai media masa dikemukakan seolah-olah bioteknologi itu merupakan 'sesuatu yang baru'.  Namun sebenarnya bioteknologi ini sudah tua tetapi sekaligus juga baru; suatu iptek tua yang menjadi muda berkat sebuah revolusi ilmu pengetahuan, terutama dalam perkembangan teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika.
Bioteknologi sebagai bagian dari upaya manusia, baik disadari atau tidak, telah berlangsung ribuan tahun yang lalu.  Sejak 8000 tahun yang lalu, bangsa Mesir kuno menggunakan mikroba kapang Saccharomyces atau ragi untuk pembuatan minuman anggur and roti.  Ragi itu mengubah gula dalam cairan anggur menjadi alkohol. Dalam pembuatan roti, gelembung gas yang dihasilkan dalam proses fermentasi oleh bantuan ragi roti (yeast), membuat roti bertekstur empuk sehingga enak dimakan. Nenek moyang bangsa Indonesia telah menggunakan mikroba lain, yaitu jamur Rhizopus, untuk membuat tempe dari kedelai.  Semua ini adalah penggunaan mikroba pada tingkat sel untuk tujuan pengolahan pangan. Contoh-contoh lainnya yang dekat dengan kehidupan kita adalah pada pembuatan sopi, tape, terasi, kompos dan lain-lain. Pembuatan vaksin dan antibiotika juga merupakan contoh penerapan bioteknologi yang sudah cukup lama. Bioteknologi tua umumnya menggunakan makhluk hidup, khususnya mikroba, pada tingkat sel, untuk mengolah bahan-bahan/ramuan awalnya menjadi produk akhir yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Bioteknologi moderen lahir pada tahun 1970-an setelah dikembangkan teknik rekayasa terhadap materi genetik (DNA), yang disebut teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika.  Berkembangnya teknologi ini dimungkinkan oleh kemampuan mengisolasi, memotong, menyambung dan menggabungkan DNA di laboratorium, serta memasukkannya ke dalam organisme inang (umumnya bakteri atau virus) untuk diperbanyak atau dilakukan kloning.   Selanjutnya materi genetik yang sudah dimanipulasi itu dapat dipindahkan ke makhuk hidup yang hendak direkayasa untuk menghasilkan produk dan jasa yang bermanfaat sesuai kebutuhan manusia.
Dengan demikian, melalui teknologi ini orang mampu menciptakan sifat (karakter) baru pada suatu mikroorganisme, tanaman ataupun hewan, serta memindahkan karakter dari satu jenis makhluk hidup ke makhluk hidup lain, bahkan yang berjauhan secara filogenik.  Contohnya, kemampuan memproduksi protein berupa Bt-toxin (racun pembunuh serangga hama) yang secara alami terdapat pada bakteri Bacillus thuringiensis dapat dipindahkan ke tanaman kedelai, jagung dan kapas, dengan mentransfer gen penentunya ke dalam tanaman-tanaman tersebut (Giddings et al, 2000; High et al, 2004).  Contoh lainnya, berbagai jenis vaksin yang umumnya diproduksi dengan menggunakan hewan, saat ini dapat juga diproduksi pada tanaman pisang, tomat, kentang dan tembakau (Daniell et al, 2001; Sala et al, 2003), sehingga vaksinasi dapat dilakukan dengan mengkonsumsi makanan yang berasal dari tanaman yang sudah direkayasa itu.  Contoh-contoh yang telah dikemukakan itu tidak mungkin dapat dilakukan sebelumnya dengan pemindahan gen dan karakter secara konvensional.

PENGERTIAN, LINGKUP DAN PERAN BIOTEKNOLOGI TANAMAN
Apa yang dimaksud dengan bioteknologi tanaman, bagaimana lingkupnya, dan apa peran serta manfaatnya?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bioteknologi diartikan sebagai “teknologi yang menyangkut jasad hidup”.  Bioteknologi adalah teknologi yang didasarkan pada biologi, khususnya jika diterapkan dalam pertanian, ilmu pangan, kedokteran dan lingkungan.  Dalam Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati digunakan definisi: "Biotechnology means any technological application that uses biological systems, living organisms, or derivatives thereof, to make or modify products  or processes for specific use." atau bioteknologi berarti aplikasi teknologi yang menggunakan sistem biologis makhluk hidup, atau turunannya, untuk membuat dan memodofikasi produk atau proses untuk tujuan tertentu. Dalam bioteknologi, makhluk hidup baik secara keseluruhan ataupun bagian-bagiannya, seperti jaringan, sel, atau bagian dari sel, seperti enzim, bertindak sebagai intermediary untuk mengubah bahan asal menjadi produk akhir (Colwell dan Sasson, 1996).  Dengan demikian jika ditafsirkan secara luas, bioteknologi mencakup metode-metode tradisional. Misalnya, perbaikan genetik (pemuliaan) tanaman, ternak dan ikan; pemanfaatan mikroorganisme untuk pengolahan makanan, produksi enzim, antibiotika, vaksin, metabolit primer dan sekunder, pengolahan limbah; serta pengendalian hayati (biocontrol) terhadap hama dan penyakit.  Bioteknologi dalam arti sempit lebih menunjuk kepada teknologi baru dengan dasar molekuler, meliputi teknologi DNA rekombinan, teknik penyaringan produk-produk hayati alami (biopropecting), serta proses-proses pengkulturan sel, protoplasma dan jaringan.
Ruang lingkup bioteknologi moderen yang berkaitan dengan pertanian (dalam arti luas) pada saat ini sangat luas.  Ini meliputi:
-   kultur jaringan tanaman, untuk perbanyakan secara masal, perbaikan genetik, konservasi plasma nutfah tanaman dan produksi bahan kimia tertentu,
-   transformasi genetik pada tanaman dan ternak (termasuk ikan budidaya), untuk meningkatkan produksi, kualitas produk, ketahanan terhadap hama, penyakit dan cekaman lingkungan,
-   penggunaan penanda (marker) molekuler, untuk pemuliaan tanaman dan ternak,
-   biofertilizer (pupuk hayati, seperti penggunaan Rhizobium dan kompos),
-  pengendalian hayati dan pestisida hayati (penggunaan organisme, seperti bakteri, jamur, nematoda atau serangga, untuk pengendalian dan pemberantasan hama, penyakit dan parasit),
-   biofarmasi (produksi obat-obatan menggunakan tanaman dan ternak transgenik),
-   rekayasa produk pertanian, yakni rekayasa karbohidrat, lemah, protein dll., menjadi produk baru, seperti biopolimer (misalnya pembuatan plastik dari selulosa),
-     manipulasi embrio dan kloning pada ternak, untuk menyeleksi dan menghasilkan ternak unggul,
-     fertilisasi in vitro dengan sperma dan sel telur terpilih pada ternak,
-      penggunaan hormon rekombinan untuk meningkatkan produksi susu dan daging,
-   teknologi sidik jari (finger-print) DNA untuk identifikasi dan karakterisasi tanaman dan ternak,
-   teknologi antibodi monoklonal untuk diagnosis berbagai penyakit (pada manusia, ternak maupun tanaman),
-   penggunaan mikroorganisme untuk produksi bahan bakar (biogas, alkohol, dll.) dari produk atau limbah pertanian, untuk mengolah bahan makanan dan minuman, untuk mengolah limbah pertanian dan rumahtangga, dan sebagainya.
Ulasan dalam tulisan ini dibatasi pada bioteknologi tanaman yang berhubungan dengan pertanian, yang dirasakan mempunyai dampak yang luas terhadap pertanian di dunia dan di negara kita. 
Penerapan bioteknologi dalam bidang perbaikan genetik tanaman akan dapat menciptakan tanaman-tanaman penghasil bahan makanan yang lebih tinggi produksinya, yang lebih tahan terhadap hama dan penyakit, yang dapat ditanam di tanah-tanah marginal (kering, asam atau bergaram), yang dapat menghasilkan sendiri hara nitrogen, ataupun menghasilkan produk atau senyawa yang secara tradisional tidak dapat dihasilkan oleh tanaman.
FAO (2000) menyatakan bahwa bioteknologi telah membantu pembangunan berkelanjutan pada pertanian, kehutanan dan industri pangan.  Jika dipadukan secara baik dengan teknologi lain untuk produksi pangan, maka bioteknologi dapat membantu memenuhi kebutuhan penduduk yang terus bertambah pada milenium ini.
Perkembangan bioteknologi tanaman dan pertanian, bertumpu pada dua bidang teknologi yang saat ini berkembang dengan pesat, yakni rekayasa genetik dan kultur jaringan tanaman.  Sebagaimana diuraikan sebelumnya, rekayasa genetik atau teknologi DNA rekombinan berkaitan dengan manipulasi terhadap materi genetik (DNA dan RNA) didalam sel makhluk hidup, sehingga menimbulkan perubahan karakter yang bersifat menurun pada makhluk hidup yang direkayasa.  Kultur jaringan tanaman berkemampuan untuk menumbuhkan tanaman utuh dari bagian kecil tanaman itu, misalnya sel, protoplasma dan jaringan.  Karena manipulasi tanaman dengan DNA asing pada umumnya harus dilakukan pada tingkat sel atau jaringan, maka kemampuan untuk menumbuhkan kembali tanaman utuh dari sel-selnya mempunyai peranan penting pada rekayasa genetik tanaman untuk mendapatkan tanaman unggul.
       Pemanfaatan kultur jaringan tanaman meliputi beberapa aspek:
1)  Perbanyakan tanaman secara mikro (micropropagation); sejumlah kecil dari jaringan tanaman (misalnya dari pucuk, daun, batang atau akar) dapat dikendalikan untuk menghasilkan ribuan tanaman kecil yang akan menjadi bibit,
2)  Produksi bibit bebas penyakit; dengan teknik kultur meristem, penyakit tanaman (misalnya virus) dapat 'disaring' sehingga bibit yang dihasilkan melalui teknik ini akan bebas penyakit,
3)  Menciptakan keragaman genetik tanaman dan seleksi terhadap tanaman mutan; dengan variasi somaklonal dan perlakuan mutasi,
4)  Produksi tanaman haploid untuk studi genetik dan pemuliaan tanaman,
5)  Membuat persilangan somatik melalui fusi (penggabungan) protoplasma, untuk pemaduan material genetik antar spesies atau antar genus,
6)  Konservasi plasma nutfah tanaman secara in vitro,
7)  Produksi senyawa-senyawa metabolit sekunder dari kultur sel dan jaringan,
8)  Transformasi genetik tanaman, dimana berbagai teknik yang melibatkan kultur sel dan jaringan dikembangkan untuk memindahkan gen asing dari berbagai sumber ke dalam tanaman, sehingga terbentuk tanaman transgenik yang mempunyai karakter yang baru.
Bioteknologi tanaman yang berkembang pesat di dunia tentunya mempunyai dampak terhadap pertanian di Indonesia, dan  ini dapat dilihat dari beberapa segi.
Riset bioteknologi tanaman yang sangat giat dilakukan di negara-negara maju, terutama oleh perusahaan-perusahaan swasta, telah menghasilkan banyak varietas tanaman yang direkayasa secara genetik, yang disebut tanaman GM (genetically modified plants).  Secara teknis suatu tanaman GM adalah tanaman yang mengandung gen-gen asing yang bukan berasal dari jenis tanaman itu.  Tanamann hssil rekayasa seperti ini juga disebut tanaman transgenik.  Di antara banyak tanaman transgenik yang telah dikembangkan, ada beberapa telah ditanam secara luas di seluruh dunia, yaitu kedelai, jagung, kapas dan canola, dengan ketahanan terhadap herbisida dan ketahanan terhadap hama.  Tanaman-tanaman transgenik lain yang ditanam cukup luas adalah kentang, tomat, bit gula, alfalfa, dan papaya.  Pada saat ini, sekitar 90% kedelai dan 64% kapas yang ditanam di seluruh dunia adalah tanaman transgenik hasil rekayasa genetik (James, 2010).
Terlepas dari pro dan kontra tentang penanaman tanaman hasil bioteknologi dan penggunaan produknya, luas areal penanamannya terus meningkat.  Menurut James (2010), pada 2010 total luas tanaman transgenik di seluruh dunia adalah sebesar 148 juta hektar atau hampir setara dengan 3 kali luas areal pertanian di seluruh Indonesia (53.6 juta hektar; FAO, 2010).  Luas areal tanaman transgenik tersebut meningkat 87 kali lipat dibandingkan tahun 1996 saat tanaman transgenik mulai diperkenalkan dan ditanam secara komersial (1.7 juta ha).  Tiga negara dengan luasan penanaman tanaman transgenik terbesar adalah Amerika Serikat (66.7 juta ha), Brazil (25.5 juta ha) dan Argentina (23 juta ha), diikuti oleh India, Kanada, Cina, Paraguay, Pakistan, Afrika Selatan dan Uruguay.  Jumlah negara yang telah mengadopsi penanaman tanaman transgenik pada skala komersial adalah 29 negara, dan jumlah ini terus bertambah setiap tahun.  Dari sisi negara penerima produk tanaman transgenik, terdapat 30 negara yang mengijinkan impor produk tanaman transgenik untuk digunakan sebagai bahan pangan, pakan dan energi.
Indonesia tidak termasuk dalam daftar 29 negara yang mengijinkan penanaman tanaman transgenik tersebut walaupun sejak 10 tahun yang lalu sudah terdapat penanaman kapas transgenik di Sulawesi Selatan, tetapi luas lahannya tergolong kecil.  Namun sejak 2008 sudah ada beberapa tanaman transgenik, yaitu kedelai, kapas dan jagung, yang sudah lolos pengujian keamanan hayati (biosafety) dan keamanan lingkungan (environmental safety) oleh Komisi Keamanan Hayati Nasional dan sementara menunggu perijinan untuk ditanam secara komersial.  Tentunya tidak lama lagi Indonesia akan ada dalam daftar sebagai negara pengadopsi tanaman transgenik. Beberapa jenis tanaman transgenik juga sedang menjalani pengujian lapangan, yang meliputi padi, tebu, ubi kayu, kentang dan tomat.  Di tahun 2011 ini dua komoditas transgenik, yaitu jagung dan kedelai, sudah mendapat SK persetujuan tentang keamanan pangan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) (GAIN, 2010;  GAIN, 2011).
Dengan terus meningkatnya jumlah tanaman transgenik yang diijinkan untuk ditanam, serta cepatnya pertambahan luas areal pertanamannya di seluruh dunia, maka dampaknya terhadap pertanian kita tentu akan sangat besar.  Hal ini perlu diantisipasi oleh pemerintah, para pakar dan petani.  Apalagi banyak di antara tanaman transgenik yang telah dan sedang dikembangkan ini merupakan tanaman pangan penting. Banyak di antara produk tanaman hasil rekayasa genetik ini diekspor negara produsennya dan telah memasuki pasar dunia, termasuk ke Indonesia dan menimbulkan tekanan persaingan terhadap produk lokal yang non-transgenik.  Perlu diketahui bahwa pada saat ini Indonesia mengimpor kebutuhan bahan pangan bagi penduduk dengan volume yang sangat besar. 
Hampir semua tanaman transgenik yang sudah ditanam secara komersial itu dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa di negara maju, seperti Monsanto, Syngenta Seeds, Aventis, DuPon, Pioneer, AgrEvo, Cargill, Calgene, dll.  Perusahaan-perusahaan itu mau menanamkan modalnya yang sangat besar pada pengembangan bidang bioteknologi yang berhubungan dengan pertanian karena beberapa alasan.  Bioteknologi dapat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap seluruh rentetan agro-industri dimana mereka dapat mengambil untung, yang meliputi:  a) Produksi dan penggunaan sarana pertanian (benih, pestisida, pupuk dan mesin), b) Produk tanaman transgenik itu sendiri, c) Industri pengolahan dari produk itu menjadi bahan makanan atau pakan, d) Perdagangan internasional dari produsen ke konsumen.  Akibatnya manfaat dan keuntungan maksimal yang diperoleh dari bioteknologi itu akan mengalir ke perusahaan-perusahaan yang mengembangkan teknologi tersebut, yang semuanya berada di negara-negara maju (Sasson, 1994). 
Apakah pemanfaatan bioteknologi oleh negara-negara industri maju dapat mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertanian di negara-negara yang sedang berkembang? Tentu saja. Dengan pemanfaatan bioteknologi, perusahaan-perusahaan besar di negara-negara industri akan mampu membuat produk alternatif yang sama atau mirip dengan bahan-bahan yang secara tradisional diekspor oleh negara-negara sedang berkembang.  Banyak bahan-bahan baku industri dan makanan di negara-negara maju secara tradisional dipasok dari hasil pertanian di negara-negara sedang berkembang, misalnya gula, minyak goreng, coklat, vanili, dan lain-lain.  Di Amerika Serikat, sudah lama gula mendapatkan saingan kuat dari sirup jagung (high fructose corn syrup - HFCS) yang dibuat secara bioteknologi dari fermentasi tepung jagung. Akibatnya, industri yang memerlukan gula, seperti industri minuman ringan CocaCola, Pepsi dll, dapat dengan mudah mengganti gula dari tebu dengan HFCS tersebut.  Ini menggambarkan bahwa pertanian dapat dialihkan ke dalam pabrik-pabrik di negara-negara maju, yang berarti ekspor bahan-bahan pertanian dari negara-negara sedang berkembang juga terancam.  Hal tersebut menimbulkan dampak terhadap para petani penghasil bahan-bahan ekspor tersebut, yaitu bahwa produk pertanian mereka akan mendapat persaingan yang berat.  Akibatnya, saling ketergantungan negara-negara industri maju akan produk-produk pertanian dari negara-negara yang sedang berkembang menjadi bergeser, dan tidak menguntungkan bagi Indonesia.

ASPEK TEKNIS BIOTEKNOLOGI TANAMAN
Teknik-teknik yang digunakan dalam bioteknologi tanaman sangat banyak dari yang sederhana sampai yang sangat rumit, dari yang tradisional sampai yang mutakhir. Di sini penulis tidak akan menguraikannya secara rinci. Untuk memberikan gambaran tentang aspek teknik bioteknologi tanaman, maka penulis akan menyampaikan beberapa pengalaman tentang proses dan hasil penelitiannya selama berkecimpung dibidang ini di Fakultas Pertanian Unpatti, studi di Simon Fraser University (Kanada) dan kerja penelitian di University of  Florida (Amerika Serikat).
Universitas Pattimura sebenarnya sudah melakukan kegiatan pengajaran dan penelitian bioteknologi tanaman cukup lama, yaitu sejak 1987 saat didirikan Laboratorium Kultur Jaringan di Fakultas Pertanian.  Pendirian laboratorium itu terkait dengan proyek penelitian tanaman umbi-umbian yang didanai oleh USAID.  Kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan selain kultur jaringan tanaman umbi-umbian, terutama ubi (Dioscorea alata), gembili (Dioscorea esculenta), keladi (Xanthosoma sagittifolium) dan talas (Colocasia esculenta),  juga pisang (Musa sp.) dan beberapa jenis anggrek.  Focus penelitian yang dilakukan adalah kultur jaringan untuk perbanyakan mikro, untuk memperoleh bibit yang bebas dari patogen, serta untuk penyimpanan plasma nutfah secara in vitro (Lalopua et al, 1989).  Secara ringkas hasil-hasil penelitian yang didapatkan adalah: 
1.  Prosedur sterilisasi bahan tanaman untuk memulai kultur jaringan (disebut eksplan) bagi semua jenis tanaman yang diuji, sehingga kontaminasi pasca sterilisasi dapat diminimalkan.
2.  Kondisi kultur jaringan yang optimal untuk perbanyakan mikro bagi semua jenis tanaman yang diteliti, terutama dalam hal jenis media dan kombinasi zat-zat pengatur tumbuh untuk perbanyakan tunas secara cepat.
3.   Kondisi kultur jaringan yang tepat untuk penyimpanan plasma nutfah ubi dan gembili, sehingga 21 varietas jenis ubi, 9 varietas gembili, 3 varietas keladi dan 4 varietas talas semua asal Maluku, dapat disimpan secara in vitro selama bertahun-tahun.
4.   Bibit-bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan semua tanaman yang diteliti adalah bebas dari patogen.
5.   Dengan prosedur aklimatisasi dan transfer bibit dari kultur jaringan (dinamakan plantlet) maka diperoleh tanaman-tanaman normal di rumah kaca sampai ke lapang.
Ini menggambarkan bahwa Universitas Pattimura, dalam hal ini Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman di Fakultas Pertanian, telah lama memiliki kemampuan menerapkan bioteknologi yang sederhana. Hal ini sangat berguna untuk penelitian dan pengembangan tanaman-tanaman lokal, seperti tanaman umbi-umbian, yang bermanfaat untuk diversifikasi sumber bahan pangan serta tanaman-tanaman lain yang mempunyai nilai ekonomi.
Namun laboratorium ini, sebagaimana laboratorium-laboratorium lain di Universitas Pattimura, mengalami stagnan selama beberapa tahun, bahkan musnah akibat konflik Maluku.  Pada tahun 2009 Laboratorium Kultur Jaringan di Fakultas Pertanian didirikan kembali.  Pada laboratorium tersebut terdapat berbagai kultur tanaman, yang meliputi:  pisang, jeruk (Kisar, Bali dan Cina), beberapa jenis anggrek lokal, gaharu, cendana dan lenggua.  Laboratorium ini juga digunakan untuk keperluan penelitian perbanyakan mikro bagi dosen dan mahasiswa.  Pada saat ini ada tiga mahasiswa sedang melakukan penelitian kultur jaringan untuk skripsinya.
Salah satu tujuan penerapan bioteknologi tanaman adalah untuk merekayasa tanaman secara genetik sehingga akan didapatkan tanaman yang lebih unggul daripada varietas yang sudah ada.  Secara konvensional, hal ini dapat dilakukan melalui pemuliaan tanaman yang biasanya melibatkan persilangan-persilangan dan seleksi, dengan maksud menggabungkan sifat-sifat baik dari tetua-tetua ke dalam keturunan-keturunan yang terseleksi, sehingga pada akhirnya akan diperoleh varietas unggul baru.  Tetapi metode ini memerlukann waktu yang lama dan hanya dapat dilakukan untuk memindahkan sifat-sifat baik dari tanaman-tanaman sejenis atau berkerabat dekat melalui perkawinan yang dapat menghasilkan keturunan fertil (tidak mandul).  Pemindahan sifat tertentu yang dikehendaki, misalnya dari tanaman jagung ke tanaman kedelai tidak mungkin dilakukan melalui pemuliaan konvensional, sebab antara kedua jenis tanaman itu tidak saling kawin.  Apalagi jika hendak dipindahkan suatu sifat dari bakteri Bacillus thuringiensis ke tanaman kedelai, jelas mustahil.  Tetapi dengan bioteknologi moderen, yang melibatkan rekayasa genetika, hal-hal yang tidak mungkin di atas dapat dilakukan.
Contohnya adalah dalam pengembangan Padi Emas atau Golden Rice (Wikipedia, 2011).  Padi Emas dibentuk dengan merekayasa padi secara genetik dengan mentransfer gen psy (phytoene synthase) dari tanaman daffodil (Narcissus pseudonarcissus) atau jagung dan gen crtl dari bakteri tanah (Erwinia uredovora) ke dalam tanaman padi.  Padi transgenik hasil rekayasa itu berwarna kuning karena banyak mengandung karoten-beta, suatu prekursor vitamin A, seperti yang biasanya banyak terkandung pada tanaman wortel.  Pembentukan Golden Rice ditujukan untuk biofortifikasi (pemberian bahan vitamin A bagi penduduk melalui bahan pangan) dalam memberantas defisiensi vitamin A.
Dengan cara konvensional maupun bioteknologi moderen, pemindahan dan penggabungan sifat-sifat menurun pada tanaman dapat dilakukan dengan memindahkan gen-gen yang menentukan sifat-sifat menurun itu.  Pada bioteknologi moderen, pemindahan gen dapat dilakukan dengan transformasi genetik.  Bioteknologi tanaman dengan transformasi genetik membutuhkan 3 teknik, yaitu:
1. Teknik rekayasa genetik, untuk merekayasa gen (DNA) yang hendak ditransfer ke dalam tanaman,
2.  Teknik transfer gen, yaitu untuk mentransfer gen yang sudah direkayasa ke dalam jaringan atau sel tanaman,
3.   Teknik kultur jaringan atau kultur sel, untuk menumbuhkan tanaman utuh dari jaringan.
Dengan melibatkan ketiga teknik tersebut pada akhirnya akan diperoleh tanaman hasil rekayasa genetik atau disebut tanaman transgenik (Chawla, 2000).
Pada penelitian di Simon Fraser University di Kanada, Prof. Zamir Punja bersama penulis dan anggota peneliti lainnya mengupayakan untuk mendapatkan prosedur kultur jaringan dan kultur sel yang optimal pada tanaman ketimun (Cucumis sativus), sehingga dapat ditumbuhkan kembali (diregenerasikan) menjadi tanaman utuh. Untuk itu dilakukan percobaan dengan menambahkan zat-zat pengatur tumbuh berupa auksin (2,4-D dan NAA) dikombinasikan dengan sitokinin (BA dan kinetin) dengan konsentrasi yang berbeda-beda, pada media kultur Murashige dan Skoog (MS).  Didapatkan bahwa pada kondisi yang optimal regenerasi dapat berlangsung melalui embriogenesis somatik.  Embrio-embrio somatik timbul dari kultur yang bersifat embriogenik, yang asalnya dari sel atau jaringan tanaman yang dikulturkan. Tanaman utuh dapat diregenerasikan dengan mengecambahkan embrio-embrio somatik itu (Raharjo dan Punja 1994). Kemampuan untuk meregenerasikan tanaman utuh dari kultur sel dan jaringan ini dapat dimanfaatkan untuk penerapan bioteknologi melalui transformasi genetik pada tanaman ketimun.
 Untuk mendapatkan ketimun pickling yang tahan terhadap berbagai penyakit yang disebabkan oleh jamur, tim peneliti Prof. Punja melakukan rekayasa dengan memindahkan gen chitinase asing ke dalam tanaman tersebut.  Chitinase merupakan protein yang berhubungan dengan patogenesis dan berfungsi untuk pertahanan tanaman terhadap infeksi oleh jamur.  Untuk merekayasa tanaman ketimun dengan gen chitinase itu, dilakukan transformasi genetik dengan menggunakan sarana pentransfer gen berupa bakteri Agrobacterium tumefaciens (Raharjo et al, 1996).  Bakteri ini biasa dipakai untuk mentransfer gen-gen asing ke dalam tanaman karena mempunyai kemampuan untuk menyuntikkan gen-gen yang dibawanya ke dalam sel-sel tanaman yang diinfeksi olehnya.  Untuk tujuan merekayasa tanaman ketimun, dipakai gen-gen chitinase asam yang berasal dari petunia dan chitinase basa yang berasal dari tembakau dan bean (sejenis buncis). Tiga vektor biner yang masing-masing mengandung gen-gen chitinase asing itu, serta promoter CaMV 35S dan NPT II (untuk ketahanan terhadap kanamycin), dikonstruksi dan dimasukkan ke dalam sel Agrobacterium.  Dengan teknik kokultivasi, yakni mengkulturkan bersama jaringan tangkai daun ketimun dan Agrobacterium yang sudah direkayasa, maka bakteri itu mentransfer gen-gen asing ke jaringan ketimun.  Setelah melalui proses seleksi ketahanan terhadap antibiotika kanamycin pada kultur jaringan ketimun itu maka diperoleh kultur yang telah mengandung gen asing, disebut kultur transforman.  Selanjutnya, dengan menerapkan sistem regenerasi yang sudah dikembangkan sebelumnya serta melalui pembuktian secara molekuler (PCR, analisis Southern dan analisis Western), maka akhirnya diperoleh tanaman ketimun transgenik yang mengandung gen chitinase asing untuk meningkatkan ketahanan terhadap berbagai penyakit pada tanaman ketimun (Raharjo et al, 1996).
Apa yang diuraikan itu menggambarkan bahwa dengan bioteknologi yang melibatkan transformasi genetik pada suatu jenis tanaman, maka kita dapat memindahkan gen-gen asing yang berguna secara agronomis tanpa harus melibatkan persilangan-persilangan sebagaimana yang dilakukan pada pemuliaan tanaman konvensional.  Secara teoritis, sumber gen asing itu dapat berupa makhluk hidup apa saja, mulai dari virus sampai manusia.  Inilah merupakan salah satu teknologi yang sampai saat ini banyak digunakan oleh para ahli bioteknologi, baik yang bekerja pada perusahaan-perusahaan bioteknologi swasta, institusi-institusi penelitian pemerintah maupun perguruan-perguruan tinggi, untuk memperoleh tanaman-tanaman transgenik yang unggul.
Selama bekerja penelitian di University of Florida, Penulis terlibat pada serangkaian penelitian di Laboratorium Cellular dan Developmental Biology yang dipimpin oleh Prof. Richard Litz.  Tujuan-tujuan penelitian di sana antara lain adalah: (1) mendapatkan sistem regenerasi yang optimal dari kultur sel dan jaringan berbagai tanaman buah tropis, seperti apokad, leci, lengkeng, mangga dan papaya, lulo (Solanum quitoense) dll, sehingga bisa diaplikasikan untuk melakukan rekayasa secara genetik pada tanaman-tanaman tersebut, (2) mendapatkan sistem transformasi genetik untuk mentransfer gen-gen asing yang bermanfaat secara agronomis dari berbagai sumber ke dalam tanaman-tanaman tersebut.  Sasaran akhirnya antara lain untuk menciptakan kultivar apokad yang tahan terhadap penyakit busuk akar (root rot) dan buahnya tahan disimpan lama, kultivar leci dan lengkeng yang tidak berbiji, serta kultivar papaya yang tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus. Penelitian-penelitian yang dilakukan meliputi penelitian kultur sel dan jaringan tanaman serta penelitian transformasi genetik pada tanaman buah-buahan tersebut.  Transformasi genetik dilakukan dengan menggunakan Agrobacterium tumefaciens.  Sistem regenerasi tanaman dilakukan melalui jalur embriogenesis somatik, mirip dengan yang diuraikan sebelumnya pada tanaman ketimun.  Pengembangan kultur sel dan jaringan dengan sistem regenerasi melalui embriogenesis somatik pada tanaman apokad, leci dan lengkeng, serta aplikasinya (Raharjo dan Litz, 2010).
Tahap-tahap yang dikembangkan untuk mendapatkan tanaman dari kultur sel dan jaringan pada apokad, leci dan lengkeng meliputi: (1)sterilisasi dan persiapan eksplan, (2) induksi kultur embriogenik, (3) pemeliharaan kultur, (4) pembentukan dan pembesaran embrio somatik, (5) pengecambahan embrio somatik, dan (6) aklimatisasi plantlet dan transfer ke kondisi ex vitro (di rumah kaca).
Bagi spesies pohon tropis berkayu, seperti apokad, leci, lengkeng dan mangga, regenerasinya dari kultur sel dan jaringan untuk membentuk tanaman utuh tergolong sulit.  Namun kelompok peneliti di laboratorium Prof. Litz telah berhasil mengembangkan tekniknya setelah penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun.  Teknik yang telah dikembangkan dapat dipakai untuk mendapatkan tanaman transgenik dari kultur jaringan atau kultur sel yang telah ditransformasi dengan gen-gen asing dari berbagai sumber.
Melalui serangkaian percobaan yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan kondisi optimal untuk regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dari kultur sel dan kultur jaringan apokad, leci dan lengkeng (Witjaksono dan Litz, 1999a dan 1999b;  Litz dan Raharjo, 2005;  Raharjo dan Litz, 2007).  Kondisi optimal tersebut meliputi penggunaan media MS atau B5, penambahan zat pengatur tumbuh auksin 2,4-D atau NAA dan sitokinin BA atau zeatin ke dalam media kultur, penambahan suplemen organik (seperti glutamin atau kasein hidrolisat), pemadatan media dengan gellan gum atau Phytagen, serta inkubasi kultur pada kondisi gelap dan suhu 26oC. Untuk pembentukan dan pembesaran embrio somatik digunakan media tanpa zat pengatur tumbuh tetapi dengan penambahan air kelapa (10-20%) ke dalam media kultur jaringan. Dengan pengecambahan embrio-embrio somatik pada media yang mengandung GA3 maka diperoleh plantlet yang siap untuk diaklimatisasi dan dipindahkan ke pot-pot di rumah kaca.
Sistem regenerasi dari kultur sel dan jaringan tanaman apokad dan leci ini telah diterapkan secara terpadu untuk melakukan rekayasa genetik, melalui transformasi genetik dengan bantuan Agrobacterium tumefaciens.  Pada penelitian yang dilakukan itu, tanaman apokat kultivar ‘Hass’ direkayasa dengan menambahkan gen asing pdf1.2, yaitu gen penyandi defensin anti jamur yang berasal dari tanaman Arabidopsis thaliana, dengan tujuan untuk mendapatkan ketahanan terhadap penyakit busuk akar (root rot) yang disebabkan oleh jamur Phytophthora cinnamomi.  Untuk keperluan rekayasa itu, vector biner pGPTV dikonstruksi sehingga mengandung gen pdf1.2, gen uidA (gen reporter untuk GUS), gen bar untuk ketahanan terhadap herbisida phosphinothricin, dan promoter CaMV 35S untuk mengendalikan ekspresi gen pdf1.2. Vektor biner tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam Agrobacterium tumefaciens strain EHA105 melalui teknik elektroforasi (Raharjo et al, 2008).  Untuk mendapatkan apokat yang buahnya tahan simpan (tidak cepat lunak dalam penyimpanan), dilakukan rekayasa terhadap apokad kultivar ‘Suardia’ dengan menambahkan gen samK, yaitu gen untuk enzim hidrolase SAM yang berfungsi mencegah pemasakan dan pelunakan buah. Untuk keperluan rekayasa itu, vector biner pAG-4092 dikonstruksi sehingga mengandung gen samK yang dikendalikan oleh promoter cellulase serta gen NPT II untuk ketahanan terhadap antibiotika kanamycin. Vektor biner tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam Agrobacterium tumefaciens strain EHA101 (Litz et al, 2007).  Untuk mendapatkan leci yang buahnya tidak berbiji, dilakukan rekayasa terhadap leci kultivar ‘Brewster’ dengan menambahkan gen pistillata yang diisolasi dari tanaman Arabidopsis thaliana.  Untuk keperluan rekayasa itu, vector biner pCambia3301 dikonstruksi sehingga mengandung gen bar, gen pistillata yang dikendalikan oleh promoter CaMV 35S dan diikuti oleh terminator rbcS, serta gen uidA.  Vektor biner tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam Agrobacterium tumefaciens strain EHA105 (Padilla et al, in press).
 Teknik yang digunakan untuk mentransfer gen-gen asing itu ke dalam tanaman apokat dan leci adalah teknik kokultivasi yang pelaksanaannya mirip dengan yang diuraikan sebelumnya untuk tanaman ketimun.  Perbedaannya adalah bahwa untuk transformasi apokad dan leci, kokultivasi dilakukan menggunakan agregat sel yang bersifat embriogenik pada media cair.  Selanjutnya, dengan menerapkan sistem regenerasi yang sudah dikembangkan sebelumnya (Witjaksono dan Litz, 1999a dan 1999b;  Raharjo dan Litz, 2007) maka akhirnya diperoleh tanaman apokad maupun leci transgenik yang masing-masing mengandung gen-gen asing yang telah digunakan dalam proses transformasi genetik. 
Melewati tahap-tahap teknis sampai mendapatkan tanaman transgenik dengan keunggulan tertentu merupakan proses yang panjang.  Akan tetapi, masih ada beberapa tahap lain yang harus dilalui sebelum suatu varietas transgenik mendapat perijinan untuk dipasarkan dan ditanam oleh petani.  Seacara garis besar, tahap-tahap lain yang harus dilalui adalah: pengujian keamanan hayati (biosafety), keamanan lingkungan (environmental safety), keamanan pangan (food safety, jika untuk pangan), pengujian lapang terbatas, pengujian lapang multi-lokasi, serta perijinan yang berkaitan dengan penyebaran benih atau bibit.
Pengalaman penelitian yang telah penulis uraikan tadi merupakan contoh yang menggambarkan aspek teknis dari inovasi bioteknologi tanaman untuk mengembangkan tanaman transgenik pada spesies sayuran dan pohon buah-buahan. Tahap-tahap yang sama atau serupa dengan itu dapat diterapkan untuk jenis-jenis tanaman lain, seperti tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan.

PANDANGAN TENTANG PENERAPAN BIOTEKNOLOGI TANAMAN DI INDONESIA
Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus bertambah, dengan pertumbuhan sekitar 1,5% per tahun.  Pada 2011 ini jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 236 juta jiwa dan pada 2020 menjadi  261 juta jiwa.  Sementara, jumlah penduduk Maluku pada 2011 adalah 1,4 juta jiwa dan diperkirakan akan menjadi 1.6 juta jiwa pada 2020.  Jelas ini akan mendorong permintaan pangan yang terus meningkat.  Produksi beras nasional pada 2010 diperkirakan 32,65 juta ton, sementara kebutuhan konsumsi adalah 36,77 juta ton, sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton beras yang harus diimpor.   Pada 2020 defisit beras ini diperkirakan akan sebesar 7.5 juta ton.  Disamping beras, Indonesia juga mengimpor bahan pangan dan pakan lain dalam jumlah yang cukup besar; misalnya, tahun 2010 lalu impor jagung, kedelai dan kacang tanah, masing-masing sebesar 1,5 juta ton, 1,2 juta ton dan 0.8 juta ton.
Pada saat ini tingkat produksi padi dan tanaman pangan penting lainnya dapat dikatakan sudah mencapai puncak, sebagai akibat dari penggunaan benih unggul, peningkatan penggunaan pupuk dan pestisida, serta upaya agronomis lainnya.  Dengan demikian, tingkat produksi itu sudah mengalami level-off dan sulit untuk ditingkatkan lagi dengan cara konvensional. Di lain pihak, luas areal pertanaman tanaman pangan semakin menyempit akibat konversi lahan untuk keperluan non-pertanian. Walaupun hal ini belum terjadi di Maluku, kondisi ini secara umum jelas akan mengancam stabilitas ketahanan pangan nasional.
Untuk Provinsi Maluku, gambaran tentang prospek pengembangan dan penerapan bioteknologi tanaman tentu berbeda dengan kondisi nasional.   Pada saat ini tingkat produksi tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan di provinsi belum mencapai puncak atau mengalami level-off, karena sampai sekarang penggunaan benih unggul, penggunaan saprodi, serta upaya agronomis lainnya belum optimal untuk mencapai hasil maksimal.  Dengan demikian, masih ada ruang yang luas untuk peningkatan produksi dengan cara konvensional, misalnya dengan penggunaan benih dan bibit unggul secara optimal, penerapan teknik budidaya yang tepat serta pengembangan kelembagaan pendukungnya. Di lain pihak, perluasan areal tanaman pangan dan hortikultura juga masih sangat dimungkinkan. Berdasarkan kajian BPTP Maluku (2009) luas lahan potensial untuk pengembangan pertanian dan perkebunan di Maluku diperkirakan masing-masing sebesar 858 ribu hektar dan 399 ribu hektar.
Di Maluku, pemakaian benih dan bibit unggul perlu mendapat prioritas sebab sampai sekarang para petani umumnya belum memberi perhatian yang cukup kepada varietas tanaman yang mereka tanam.  Padahal itu memberi peluang besar untuk meningkatkan produktivitas. Perlu dilakukan kajian-kajian dalam rangka memperkenalkan dan menyebarkan varietas-varietas unggul yang sudah dikembangkan secara nasional, agar dapat ditentukan varietas-varietas yang cocok untuk wilayah Maluku.  Karena Maluku mempunyai kekayaan keanekaragaman genetik berbagai jenis tanaman, seperti umbi-umbi, kacang-kacangan, jagung dan berbagai tanaman hortikultura, maka perlu juga dilakukan penelitian-penelitian dengan memanfaatkan sumberdaya genetik tersebut untuk menciptakan varietas-varietas yang sesuai dengan kondisi spesifik lokasi di Maluku.
Kenyataan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam bidang bioteknologi tanaman tidak perlu dilihat sebagai suatu hal yang negatif.  Kondisi ini justru memberikan ruang gerak yang luas untuk mengembangkannya, serta mengantisipasi dan mengkaji setiap aspeknya dengan belajar dari keberhasilan, kegagalan dan kesulitan yang dialami oleh negara-negara lain yang sudah terlebih dulu mengadopsinya.  Hal ini juga akan menghindarkan kita dari over-expectation (pengharapan berlebihan) sehingga usaha-usaha untuk mewujudkan penerapan bioteknologi tanaman akan berjalan optimal dan tidak menemui masalah yang serius..
Penerapan bioteknologi tanaman menawarkan peluang yang besar untuk peningkatan produksi pertanian, yang tidak selalu dapat diupayakan dengan cara konvensional. Misalnya, pada pengujian padi varietas Ciherang transgenik yang tahan terhadap penggerek batang didapatkan bahwa varietas transgenik itu 10 kali lebih tahan dibandingkan dengan varietas Ciherang biasa.  Dari penelitian yang dilakukan di Lampung, dengan menanam jagung transgenik, produktivitasnya mencapai 10,8 ton per hektar, yaitu dua kali lipat dari jagung hibrida biasa. Di samping dapat meningkatkan produktivitas secara signifikan, penanaman tanaman transgenik juga dapat mengurangi biaya pestisida dan mempermudah pelaksanaan sistem tanpa olah tanah (no-tillage) yang dapat mengurangi biaya pengolahan lahan dan membantu konservasi tanah.
Pengembangan dan pemanfaatan tanaman transgenik, khususnya untuk tanaman pangan penting, seperti padi, jagung dan kedelai, tanaman hortikultura utama, seperti kentang dan tomat, serta kapas, tebu, dan kakao, memang sudah mendapatkan perhatian dari beberapa lembaga penelitian pemerintah serta perguruan tinggi.  Namun perhatian masih perlu ditingkatkan dalam menangani pengembangan bioteknologi pertanian secara terpadu, serta dalam menghadapi realitas membanjirnya produk-produk transgenik yang diimpor dari luar negeri. 
Pemahaman masyarakat tentang produk-produk bioteknologi dan peran para pengambil kebijakan juga perlu ditingkatkan. Struktur kelembagaan dan perangkat peraturan telah dibentuk oleh pemerintah untuk antisipasi pengembangan produk bioteknologi; tetapi masih harus disempurnakan dan disosialisasikan kepada masyarakat, termasuk pedoman-pedoman pelaksanaan dan pengkajian dari setiap produk rekayasa genetik yang akan dilepas. Upaya pemerintah untuk melepas produk rekayasa genetik ke masyarakat memerlukan usaha yang serius dan koordinasi dengan semua pihak terkait. Keterlibatan Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) sebagai satu-satunya sumber informasi terkait keamanan hayati di Indonesia perlu dioptimalkan, sehingga usaha komersialisasi tanaman biotek dan pendidikan publik dapat berjalan dengan serasi di Indonesia (Deswina 2009).  Namun demikian, secara umum sistem aturan di Indonesia masih dirasakan menghambat kecepatan pemanfaatan produk rekayasa genetik. Di samping itu, kemampuan untuk menjalankan peraturan yang sudah ada juga sangat terbatas.  Dengan demikian, masih diperlukan peningkatan kapasitas untuk menerapkan aturan secara transparan dan berbasis ilmu pengetahuan.  Hal-hal lainnya yang juga diperlukan adalah peningkatan pengetahuan tentang keamanan hayati, keamanan lingkungan dan keamanan pangan bagi SDM yang menangani.
Perkembangan pemanfaatan tanaman transgenik dapat mempunyai dampak negatif dalam bentuk ketergantungan Indonesia terhadap pengembangan produk-produk rekayasa genetik dari luar negeri.  Hal ini perlu diantisipasi oleh semua pihak yang berkepentingan.  Untuk mencegah dampak negatif itu, pemerintah perlu melakukan penguatan investasi pada SDM, riset dan teknologi, serta perbaikan kapasitas kelembagaan.  Sikap Kementerian Pertanian saat ini adalah tidak anti terhadap pengembangan bioteknologi pertanian di Indonesia, tetapi di sisi lain juga tetap melakukan pendekatan kehati-hatian dalam mengadopsi bioteknologi dan menerima benih-benih transgenik dari luar negeri. Pengembangan bioteknologi tidak harus dilakukan melalui penggunaan penemuan-penemuan baru dari luar negeri. Yang paling penting adalah penguatan faktor SDM dan riset bioteknologi di dalam negeri.
Hampir semua gen asing yang digunakan dalam varietas tanaman transgenik yang dikembangkan dan dikaji untuk dilepas di Indonesia, berasal dari paten negara lain. Hal ini juga mengindikasikan ketergantungan kita terhadap apa yang telah dikembangkan oleh ilmuwan dan perusahaan bioteknologi di luar negeri. Untuk mengurangi ketergantungan ini, penting sekali untuk mengeksplorasi kekayaan sumberdaya genetik yang dimiliki Indonesia sebagai sumber gen-gen potensial. Untuk itu perlu dilakukan eksplorasi dan karakterisasi terhadap gen-gen potensial itu. Upaya ini dinamakan gene discovery atau penemuan gen.  Hal lain yang juga sangat penting untuk dilakukan adalah konservasi terhadap sumberdaya genetik yang ada di negara dan wilayah kita.  Dengan mengetahui bahwa negara kita sangat kaya akan sumberdaya genetik yang secara potensial akan menjamin pengembangan bioteknologi dan pertanian secara umum di masa mendatang, maka saat ini upaya konservasi genetik itu sudah merupakan hal yang mendesak.  Hal ini didukung pula oleh kenyataan bahwa erosi genetik tanaman-tanaman penting di negara kita sedang berlangsung dengan sangat cepat.
       Pemanfaatan bioteknologi tanaman dapat meningkatkan efisiensi dan memperkuat pertanian di negara-negara yang mengadopsinya, terutama negara-negara maju.  Tetapi timbul pertanyaan, apakah itu berarti bioteknologi tanaman akan sama menguntungkan jika diterapkan di negara sedang berkembang, seperti Indonesia?  Secara umum dapat dikatakan bahwa pertanian yang tangguh adalah pertanian yang dinamis.  Bioteknologi tanaman merupakan salah satu terobosan teknologi di bidang pertanian.  Secara realistis, bagaimanapun tingkat ekonomi serta kondisi ilmu dan teknologi yang dimiliki suatu negara, tentunya negara itu akan bisa ikut memperoleh manfaat dari bioteknologi apabila penerapannya dipikirkan secara strategis.  Keikutsertaan dalam pengembangan dan penerapan bioteknologi bukan berarti bahwa negara sedang berkembang seperti Indonesia harus melaksanakan penelitian dasar dan penelitian yang sangat maju seperti yang terjadi di negara-negara maju.  Lebih layak apabila penelitian itu diprioritaskan kepada yang bersifat 'know-how' dan yang dapat menjawab masalah-masalah pertanian yang sedang dihadapi.  Ini juga didasarkan pada kenyataan bahwa di negara kita dana yang tersedia untuk penelitian maupun fasilitas sangat terbatas.  Kita tidak boleh meniru begitu saja kebijakan yang dilakukan di negara-negara maju ataupun perusahaan-perusahaan yang ada di sana
       Kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan bioteknologi tanaman di Indonesia hendaknya diutamakan untuk menghasilkan inovasi baru atau memodifikasi inovasi yang telah ada, yang memiliki ciri-ciri:
-    dapat meningkatkan secara nyata produktivitas, nilai tambah produk atau memperbaiki proses produksi,
-    ekonomis dan sedapat mungkin kurang memerlukan input yang terlalu mahal atau terlalu sulit diperoleh secara lokal,
-    sedapat mungkin produknya dapat digunakan atau prosesnya dapat diaplikasikan secara lokal (menunjang pengembangan teknologi spesifik lokasi).
Kegiatan-kegiatan pengembangan bioteknologi tanaman juga dapat diarahkan untuk menyediakan alternatif proses produksi yang baru dan lebih efisien. 
Sebagai negara pertanian dan mempunyai hutan yang sangat luas, Indonesia mempunyai peluang untuk menerapkan bioteknologi tanaman secara menguntungkan juga pada bidang kehutanan.  Sebagai contoh, teknik kultur jaringan tanaman dapat dipakai untuk memperbanyak secara cepat bibit-bibit tanaman hutan yang produktif (dengan perbanyakan mikro). Teknologi ini juga bisa diterapkan untuk memperbanyak dan meningkatkan mutu tanaman hias untuk ekspor, serta memproduksi bibit buah-buahan dan sayuran (misalnya jeruk dan kentang) yang bebas penyakit. Bioteknologi juga bisa dimanfaatkan untuk mengkonversi berbagai limbah pertanian menjadi energi (etanol, biodisel, atau biogas), serta mengkonversi limbah pertanian menjadi pupuk organik untuk budidaya pertanian.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa pemanfaatan teknologi ini dapat memberikan keuntungan bagi pertanian di Indonesia dan di Maluku, walaupun telah dikemukakan sebelumnya bahwa pemanfaatan bioteknologi di negara-negara maju kebanyakan memberikan dampak yang kurang menguntungkan.  Bioteknologi tanaman memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan produksi pertanian, meningkatkan efisiensi budidaya pertanian, memperbaiki mutu produk, serta memperluas areal pertanian ke lahan-lahan yang sub optimal.  Yang terpenting adalah bagaimana menetapkan strategi yang bijaksana untuk mengadopsinya sehingga menguntungkan bagi pemakai, petani, masyarakat, dan negara. 

PENUTUP
Manfaat yang menguntungkan maupun pengaruh buruk dari bioteknologi ini bagaimanapun tidak dapat dihindarkan.  Tentu tidak bijaksana jika mengabaikan revolusi bioteknologi ini dan tidak berusaha sama sekali untuk memperoleh manfaat yang ditawarkannya bagi pemecahan masalah-masalah pertanian di wilayah kita.  Terima atau tidak, kita akan tetap mendapatkan limpahan produk-produk bioteknologi dari luar negeri.  Akan lebih baik apabila kita mempersiapkan diri, bahkan mengambil manfaat secara maksimal dari perkembangan teknologi ini, sesuai dengan kondisi pertanian dan masyarakat tani kita.
Pada dasarnya ada dua pemikiran pokok yang perlu mendapatkan perhatian mendasar dalam hubungannya dengan perkembangan bioteknologi tanaman, sebagaimana telah diuraikan.  Pertama, bahwa gelombang besar pengaruh penerapan bioteknologi tanaman dari negara maju (umumnya kurang menguntungkan) tidak dapat dihindari oleh negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, yang pada umumnya merupakan pengekspor hasil-hasil pertanian dan juga pemakai sarana-sarana pertanian dari luar.  Ini akan mempunyai dampak yang sangat luas terhadap pertanian di negara kita.  Kedua, teknologi ini menawarkan manfaat yang besar bagi pertanian kita, bila dikembangkan secara strategis dan diselaraskan dengan kondisi iptek dan pertanian kita, serta masalah-masalah pertanian yang berkembang.
Kita mempunyai kemampuan untuk mengembangkan bioteknologi yang sudah ada di negara kita, serta memanfaatkan secara selektif apa yang sudah dikembangkan di negara lain.  Ini akan menentukan sejauh mana teknologi itu dapat bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang kita hadapi.  Pengembangan dan pemanfaatan bioteknologi tanaman di negara kita pada dasarnya juga dapat mempunyai kekuatan untuk memperkecil pengaruh negatif bioteknologi tanaman dari luar yang hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju.
Indonesia dan wilayah Maluku memiliki kekayaan yang melimpah berupa sumberdaya genetik, yang sebagian besar belum dimanfaatkan secara baik, dan bahkan belum dikenal dengan baik dalam arti belum dideskripsikan dan dikarakterisasi secara ilmiah.  Ini merupakan modal yang sangat berharga di masa kini dan masa mendatang untuk mengembangkan bioteknologi dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat.  Penelitiann ilmiah terhadap sumberdaya genetik tersebut serta upaya untuk memanfaatkannya untuk menghasilkan produk yang berguna dan bernilai ekonomi perlu dilakukan secara terencana dan strategis.   Upaya untuk melestarikan sumberdaya genetik itu juga perlu dilakukan secara serius.  Di sini perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian memegang peranan yang sangat penting, dan dukungan pemerintah dan swasta sangat menentukan keberhasilannya.

DAFTAR PUSTAKA

Chawla.  2000.  Introduction to Plant Biotechnology.  Science Publ. Inc. Enfield, 367p.
Colwell, R.R. & A. Sasson.  1996. Biotechnology and development. In World Science Report 1996. UNESCO.
Daniell H, J. Streatfield, K. Wycoff.  2001. Medical molecular farming: production of antibodies, biopharmaceuticals and edible vaccines in plants. TRENDS Plant Sci. 6:219–26.
Deswina. P. 2009.  Pengkajian Pelepasan Tanaman Padi Transgenik di Indonesia.  Journal of Applied and Industrial Biotechnology in Tropical Region 2(2):1-6.
FAO. 2010. FAOSTAT. Dalam http://faostat.fao.org/default.aspx, diakses September 2011.
GAIN.  2009.  GAIN report. Global Agricultural Information Network, Report Number ID1018, USDA Foreign Agricultural Service, Washington.
GAIN.  2011.  GAIN report. Global Agricultural Information Network, Report Number ID1117, USDA Foreign Agricultural Service, Washington.
Giddings, G., G. Allison, D. Brooks, A. Carter.  2000.  Transgenic plants as factories for biopharmaceuticals. Nature Bio-technology 18:1151-1155.
Padilla, G., P. Moon, S. Raharjo, M.A. Gomez-Lim, R.E. Litz.  Agrobacterium tumefaciens-mediated transformation of ‘Brewster’ litchi (Litchi chinensis Sonn.) with the PISTILLATA gene in antisense. (in press).
James, C. 2010. Dalam:  http://www.isaaa.org/resources/publica-tions/briefs/42/pptslides/default.asp,  diakses Sept. 2011.
Lalopua, J.R., R.E. Wattimena, A. Walsen, S.H.T. Raharjo.  1989.  Penelitian tanaman umbian pada Fakultas Pertanian Universitas Pattimura.  Dalam: Risalah Seminar Pengembangan Potensi Tanaman Umbian, pp. 95-122.  Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon. 170p.
Litz, R.E. & S. Raharjo. 2005. Litchi chinensis Sonn. Litchi and Dimocarpus longan Lour. Longan.  In: R.E. Litz (Ed.) Biotechnology of Fruit and Nut Crops. Biotechnology in Agriculture Series, No. 29. CABI Publ. NY. pp. 628-636. 
Litz, R.E., S.H.T. Raharjo, D. Efendi, Witjaksono, M.A. Gomez-Lim.  2007.  Plant recovery following transformation of avocado with anti-fungal protein and SAM hydrolase genes. Acta Horticulturae 738:447-450. 
Raharjo, S.H.T., M.O. Hernandez, Y.Y. Zhang, Z.K. Punja. 1996.  Transformation of pickling cucumber with chitinase-encoding genes using Agrobacterium tumefaciens.  Plant Cell Reports 15:591-596.
Raharjo, S.H.T. & R.E.  Litz. 2010.  Development and utilization of somatic embryogenesis in tropical trees:  avocado, litchi and longan.  Dalam: Y. Ramona et al (Eds.) Proceedings of the Second International Conference of Bioscience and Biotechnology, Bali, 2010.
Raharjo, S.H.T. & R.E. Litz.  2007.  Somatic embryogenesis and plant regeneration of litchi (Litchi chinensis Sonn.) from leaves of mature phase trees.  Plant Cell Tissue and Organ Culture 89:113-119.
Raharjo, S.H.T., Witjaksono, M.A. Gomez-Lim, G. Padilla, R.E. Litz.  2008.  Recovery of avocado (Persea americana Mill) plants transformed with the antifungal plant defensin gene PDF1.2.  In Vitro Cell. Dev. Biol.-Plant: 44:254-262.
Raharjo, S.H.T. & Z.K. Punja. 1994.  Regeneration of plantlets from embryogenic suspension cultures of pickling cucumber (Cucumis sativus L. cv. Endeavor).  In Vitro Cellular and Developmental Biology - Plant 30:16-20.
Sala, F., M. M. Rigano, A. Barbante, B. Basso, A.M. Walmsley, S. Castiglione. 2003. Vaccine antigen production in transgenic plants: strategies, gene constructs and perspectives. Vaccine 21:803-808.
Sasson, A. 1994.  Biotechnologies in developing countries: present and future. World Journal of Microbiology and Biotechnology.  10(2):127-128.
Wikipedia.  2011.  Golden rice. Dalam: http://en.wikipedia.org/ wiki/Golden_ rice,  diakses Sept. 2011.
Witjaksono & R.E. Litz. 1999a. Induction and growth characteristics of embryogenic avocado cultures. Plant Cell Tissue and Organ Culture 59:19-29.
Witjaksono & R.E. Litz. 1999b. Maturation of avocado somatic embryos and plant recovery.  Plant Cell Tissue and Organ Culture 59:141-148. 


Citation:
Raharjo, S.H.T.  2013. Bioteknologi Tanaman Dalam Persepktif Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, pp.356-385.   Dalam :  R. Oszaer, J.W.  Mosse, S.E.M. Nirahua, M.M.J. Pattinama.  J. Hiariey, H.L. Lelapary dan  Irwanto (ed s.)  Sintesis Pemikiran Ilmiah Untuk Pembangunan Wilayah Kepulauan di Indonesia,  Kumpulan Pidato Guru Besar Unpatti, Edisi I.   C.V. Anuge rah Sejati Ambon. 744p  (ISBN:  9786021713730).

Available from:
https://www.researchgate.net/publication/291830241_Bioteknologi_Tanaman_Dalam_ Persepktif_Pertanian_Tanaman_Pangan_dan_Hortikultura