Ilmu Pengetahuan dan Wawasan Ilmiah dalam
Masyarakat Pertanian
‘Scientia potentia est’ (‘knowledge is power’ atau ‘pengetahuan adalah kekuasaan’). Itu motto yang sudah lama dilontarkan (bukan yang pertama) oleh Francis Bacon (1561-1626), yang menekankan betapa pentingnya peranan ilmu pengetahuan bagi manusia, baik secara individu maupun sebagai masyarakat. Tanpa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi memang sulit bagi manusia moderen untuk bisa hidup makmur dan memiliki kekuasaan atau kekayaaan. Dalam realitas sosial, sebenarnya pernyataannya tidak mesti sevulgar itu, seolah manusia hanya berorientasi kepada kekuasaan dan kekayaan. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan juga sangat diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat. Terdapat banyak bukti bahwa ada korelasi positif antara kesejahteraan masyarakat suatu negara dengan rata-rata tingkat pengetahuan dan pendidikan rakyatnya. Negara-negara yang masyarakatnya berwawasan ilmiah umumnya memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. Ini bisa dilihat pada data Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), di negara-negara dengan indeks tingkat pendidikan penduduknya yang tinggi juga memiliki nilai indeks harapan hidup, indeks GDP per kapita dan indeks pembangunan manusia yang tinggi pula (UN Data, A World of Information). Oleh sebab itu, meningkatkan tingkat pendidikan, membangun masyarakat berbasis ilmu dan pengetahuan, yang pada gilirannya akan mengembangkan wawasan ilmiah di kalangan masyarakat, merupakan suatu keharusan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat itu.
Namun dalam masyarakat kita kenyataannya masih ditemukan pengertian yang berbeda-beda tentang ilmu pengetahuan. Juga masih ada kesenjangan antara pengetahuan tradisional dengan pengetahuan moderen, antara keyakinan keagamaan dengan kemajuan iptek, sehingga seringkali terjadi kebuntuan dialog antara kedua sisi itu dan akibatnya sinergi sangat sulit dihasilkan untuk membangun masyarakat yang sejahjtera.
Bagi kebanyakan masyarakat tradisional, termasuk banyak di antara masyarakat pertanian di Maluku, ‘pengetahuan’ sering lebih diartikan sebagai pengetahuan batin daripada pengetahuan ilmiah, baik dalam bidang sosial maupun alamiah. Pada masyarakat yang demikian ‘talenta’ atau bakat alam biasanya lebih dihargai daripada perolehan pengetahuan dari proses belajar dan kerja keras. Pengetahuan yang berupa ‘anugerah’ yang diperoleh dari proses kegiatan spiritual atau keagamaan dianggap lebih ‘berwibawa’ daripada perolehan ijazah dari lembaga pendidikan, bahkan sering lebih diandalkan daripada kompetensi nyata yang merupakan hasil dari proses pendidikan. Misalnya, ‘orang pintar’ atau dukun, ‘tukang berobat’ dan tabib tanpa pendidikan kesehatan lebih dipercaya mampu menyembuhkan daripada dokter; ‘doa-doa’ lebih diandalkan daripada diagnosis dan obat-obat dari dokter dan apotek. Penggunaan pupuk dan pestisida sulit disarankan, dan petani cenderung terus mempraktekkan cara-cara pertanian sederhana yang diwariskan dari leluhur yang sudah biasa diterapkan walaupun produktivitasnya tidak optimal.
Namun dalam masyarakat kita kenyataannya masih ditemukan pengertian yang berbeda-beda tentang ilmu pengetahuan. Juga masih ada kesenjangan antara pengetahuan tradisional dengan pengetahuan moderen, antara keyakinan keagamaan dengan kemajuan iptek, sehingga seringkali terjadi kebuntuan dialog antara kedua sisi itu dan akibatnya sinergi sangat sulit dihasilkan untuk membangun masyarakat yang sejahjtera.
Bagi kebanyakan masyarakat tradisional, termasuk banyak di antara masyarakat pertanian di Maluku, ‘pengetahuan’ sering lebih diartikan sebagai pengetahuan batin daripada pengetahuan ilmiah, baik dalam bidang sosial maupun alamiah. Pada masyarakat yang demikian ‘talenta’ atau bakat alam biasanya lebih dihargai daripada perolehan pengetahuan dari proses belajar dan kerja keras. Pengetahuan yang berupa ‘anugerah’ yang diperoleh dari proses kegiatan spiritual atau keagamaan dianggap lebih ‘berwibawa’ daripada perolehan ijazah dari lembaga pendidikan, bahkan sering lebih diandalkan daripada kompetensi nyata yang merupakan hasil dari proses pendidikan. Misalnya, ‘orang pintar’ atau dukun, ‘tukang berobat’ dan tabib tanpa pendidikan kesehatan lebih dipercaya mampu menyembuhkan daripada dokter; ‘doa-doa’ lebih diandalkan daripada diagnosis dan obat-obat dari dokter dan apotek. Penggunaan pupuk dan pestisida sulit disarankan, dan petani cenderung terus mempraktekkan cara-cara pertanian sederhana yang diwariskan dari leluhur yang sudah biasa diterapkan walaupun produktivitasnya tidak optimal.
Baca tulisan lengkapnya, klik di sini